Berita Pusat

MENJADI HAKIM IDEAL DALAM PENGAMBILAN PUTUSAN

MENJADI HAKIM IDEAL DALAM PENGAMBILAN PUTUSAN

Oleh:

7

A.Muhtarom

Tugas pokok dan fungsi hakim pada hakikatnya ada tiga fungsi secara komprehensif, yaitu:

Pertama, memeriksa dan mengadili perkara, Kedua, memberi perlindungan hukum dan keadilan,

Ketiga menyelesaikan sengketa, maka tiga tugas ini menjadi tanggung jawab hakim pemeriksa

perkara pada tingkat pertama dimana mereka berhadapan langsung dengan para pihak yang

berperkara.

Tugas memeriksa dan mengadili perkara tertuju pada objek perkara yang cara penyelesaiannya telah diatur dalam hukum acara dan hukum materiil mengenai perkara itu. Tugas memberi perlindungan hukum dan keadilan merupakan tugas pelengkap yang secara ex-officio menjadi kewenangan hakim demi mewujudkan keadilan secara komprehensif, sederhana, cepat, mudah dan ringan.

Hakim merupakan personifikasi lembaga peradilan, dalam membuat putusan suatu perkara selain dituntut memiliki kemampuan intektual, juga memiliki moral dan integritas yang tinggi, sehingga mencerminkan rasa keadilan, menjamin kepastian hukum dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Hakim dalam memutuskan suatu perkara harus didasarkan pada berbagai pertimbangan yang tidak menyimpang dari kaidah-kaidah hukum yang ada.

Hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia “identik” dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman seringkali diidentikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, putusan pengadilan diidentikkan dengan putusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan putusan yang mencerminkan keadilan.

Hakim dalam sistem peradilan kita adalah hakim yang bebas dalam memutuskan perkara, dia tidak dapat dan tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun, dia hanya bertanggungjawab kepada hati nuraninya sendiri dan tentunya kepada Tuhan.

Tugas menyelesaikan sengekta merupakan tugas mulia dan sangat penting. Sengketa merupakan rohnya perkara, tiada perkara tanpa ada sengketa, perkara pasti akan selesai manakala sengketa telah tiada. Jika hakim ingin menyelesaikan perkara maka harus pula dapat menyelesaikan sengketa.

Penjelasan Umum Undang-Undang No.48 Tahun 2009 menegaskan, bahwa pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan-badan penegak hukum dan keadilan tersebut, baik buruknya tergantung pada manusia-manusia pelaksananya, incausu para hakim.

Untuk itu hakim senantiasa harus berlaku jujur, merdeka berani mengambil keputusan dan bebas dari pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar.Hakim harus menjadi aparatur hukum yang professional, menjungjung tinggi kejujuran, kebenaran dan keadilan, tampil bersih, berwibawa dan bertanggungjawab dalam prilaku keteladanan sehingga mampu mengayomi masyarakat dan mendukung pembangunan.

Kaidah-kaidah Penegakan Hukum didalam Islam dan Rasulullah SAW serta para Shahabatnya telah pula memberikan “Tauladan (Uswah)” secara langsung tentang penyelesaian terhadap kasus-kasus hukum yang dihadapi pada masanya.

Sungguh suatu Uswah yang sangat mulia dan brilliyan untuk bagaimana seorang Hakim agar senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kemandirian didalam menjalankan tugasnya dalam penyelesaian terhadap kasus-kasus yang diadili. Karena tanpa nilai kebenaran, keadilan dan kemandirian, maka profesionalisme jabatan hakim menjadi bernuansa materialistis dan pragmatis, bukan bernuansa penjaga dan penegak keadilan bagi masyarakat.

Allah SWT berfirman dalam Surat Annisa’ Ayat 135 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri, atau Ibu Bapakmu dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.Maka janganlah kamu mengikuti hawa napsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” ( Q.S. Annisa’ 135).

Fatwa Khalifah Umar Bin Khattab kepada Qadhi di Kufah “Abu Musa Al-Asy’ari”:

“Samakan kedudukan manusia itu dalam majelismu, pada wajahmu, pada tindak lakumu dan dalam putusanmu, supaya yang kaya tidak menganggap “Wajar Ketidak Adilanmu”, dan yang Miskin dan Lemah “tidak Berputus Asa terhadap Putusanmu”.

Mengapa kedudukan hakim menjadi sangat strategis dan urgen serta mulia didalam Islam?, Tidak lain karena hakim mengemban amanat sebagai “Penyambung Titah Allah SWT. dan Rasul-Nya dimuka bumi” dan juga menggali nilai-nilai hukum khususnya hukum Islam yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Dalam suatu proses penyelesaian perkara, hakim merupakan faktor utama yang menentukan kelancaran penyelesaian perkara. Dalam hal ini hakim sebagai figure sentral, karena dialah yang memimpin persidangan. Hakim harus mempunyai ilmu dan seni memimpin persidangan yaitu seni dan kecakapan untuk menyelami, meyakinkan serta mengajak para pihak agar melalui hukum acara yang berlaku agar mau dan mampu:

-     Menyelesaikan perkara dengan cara-cara sederhana, cepat dan biaya ringan, santai dan manusiawi.

-     Menghasilkan putusan yang adil, benar dan memuaskan serta dapat dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.

-     Menjaga kerukunan, kebersamaan dan perdamaian antara pihak-pihak yang bersangkutan, selama penyelesaian perkara berlangsung sampai paska putusan dijatuhkan.

Penerapan dan penegakan hukum perlu dilaksanakan secara lugas tetapi manusiawi berdasarkan asas keadilan, kebenaran dan kemanusiaan, maka dari itu untuk menjadi hakim yang ideal itu dibutukan adanya teori-teori dan seni-seni seperti hakim harus menguasai ilmu-ilmu diantaranya ilmu hukum. ilmu manajemen, ilmu humaniora, ilmu psikologi, ilmu bahasa dan kesusastraan dan ilmu-ilmu kesenian.

  1. 1.Ilmu Hukum

Penyelesaian perkara dengan pendekatan ilmu hukum merupakan sesuatu yang memang sudah seharusnya. hukum formil merupakan alur (jalan) dalam menyelesaikan perkara dipengadilan, sedang hukum materiil merupakan bahan baku yang harus diolah dalam proses penyelesaian perkara.

  1. 2.Ilmu Manajemen

Ilmu Manajemen merupakan teori dan seni memanfaatkan seluruh potensi yang ada secara optimal dan menekan segala hambatan yang menghadang untuk mencapai tujuan organisasi, dan ilmu ini sangat bermanfaat untuk:

  1. Memahami bentuk, jenis dan sifat-sifat sengketa itu sendiri, disamping untuk menggali sumber-sumber sengketa.
  2. Mencari dan menentukan alterntif pemecahannya dengan berbagai pisau analisa dan teknik pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
  3. Menjadi seni dan ilmu dalam menyelesaikan perkara secara efektif dan efisien dengan hasil yang memuaskan. Hakim dapat mengatur perkara dengan sebaik-baiknya, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengelolaan, pembiayaan, pengawasan sampai kepada pengendalian hasil-hasilnya.
    1. 3.Ilmu Humaniora

Ilmu humaniora akan membuat proses penyelesaian perkara dan hasil-hasilnya itu lebih manusiawi, lebih berbudaya sesuai dengan kodrat manusia seutuhnya yang monopluralis itu.

  1. 4.Ilmu Psikologi

Psikologi akan memberikan bantuan kepada hakim untuk memahami kejiwaan seseorang sehingga ia dapat menentukan sikap dalam berkomunikasi dengan pencari keadilan melalui cara yang sesuai dengan kejiwaannya, dan sekaligus dapat mendorong mereka untuk menyelesaikan perkara sesuai dengan kejiwaannya, yakni pemikiran, perasaan dan keinginan-keinginannya, sehingga mereka merasa diakui, dihargai dan dihormati harga dirinya serta ada harapan bahwa keinginan-keinginannya itu akan tercapai, dengan demikian para pihak dan juga para saksi akan dengan senang hati turut serta menyelesaikan perkara itu secara sungguh-sungguh. Jika sudah begitu proses penyelesaian perkara ini akan merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi mereka karena akan membuahkan hasil yang menyenangkan pula sesuai dengan jiwa dan semangatnya, psikologi komunikasi akan sangat membantu kelancaran komunikasi antara hakim dan pihak-pihak serta saksi-saksi.

  1. 5.Ilmu bahasa dan kesusastraan

Ilmu bahasa dan kesusastraan sudah jelas sumbangannya untuk alat komunikasi dengan bobot yang tinggi dan indah . Putusan hakim akan terasa hidup jika dikemas dalam bahasa yang baik dan benar, runtut, kronologis, logis dan bersesuaian bagaikan alunan nada yang indah karena dibumbui dengan kesusastraan yang tinggi.

  1. 6.Ilmu kesenian

Ilmu kesenian dalam hal ini dikaitkan dengan penyelesaian perkara, akan dapat memberikan sumbangsih dalam menciptakan suasana bathin yang indah dan komunikatif. Suasana sidang yang indah dan rapi, komunikasi yang menarik dan menawan akan dapat menyejukan hati pihak-pihak yang sedang panas, menyembuhkan luka yang sedang sakit, gaya bahasa dan seni seorang hakim yang baik dan tulus akan mampu menyirami jiwa yang sedang kering karena terlilit perkara. (Dr. Drs. H. A. Mukti arto, SH., M.Hum:2017:171-175)

Setelah menguasai ilmu-ilmu tersebut hakim harus bisa mengubah sengketa menjadi kerjasama, hal ini tidak mudah karena ini berarti mengubah sikap mental dan pandangan serta pemikiran seseorang, untuk itu hakim harus melakukan pendektan melalui ilmu psikologi, filsafat, teologi (Agama) dan seni yang mendukungnya, motivasi dengan identifikasi merupakan cara yang terbaik (Abu Ahmadi, 1991:202), yakni dengan cara:

  1. Menumbuhkan rasa percaya diri;
  2. Mengangkat harkat dan martabat serta prestasi dan prestisenya (harga diri)-nya di muka hakim;
  3. Menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang dilakukan akan memberi manfaat yang besar terhadap dirinya dan orang banyak;
  4. Menumbuhkan keyakinan bahwa ia pilihan yang dicintai Tuhan

Dengan cara ini akan tumbuh dorongan dari dalam diri sendiri sehingga mereka mau mengubah rasa dan sikap bersengketa menjadi kerjasama, teknik mengubah sengketa menjadi kerjasama termasuk keterampilan dan seni seorang hakim.

Sangat tepat apabila hakim mau memahami dan menerapkan falsafah jawa yang mengajarkan :

  1. Ngluruk tanp bolo, artinya menyerang tanpa menggunakan tentara dan senjata sehingga tidak tampak kalau menyerang;
  2. Menang tanpo ngasorake, artinya dapat memenangkan sesuatu tanpa harus mengalahkan orang lain, yakni dia tidak merasa dikalahkan / dihinakan;
  3. Paweh tanpo kelangan, artinya hakim dapat memberikan sesuatu yang sangat bernilai bagi para pihak tanpa harus mengeluarkan materi / harta;

Dengan demikian, nantinya mereka akan:

  1. Tidak merasa dikalahkan oleh hakim;
  2. Tidak merasa dikalahkan oleh lawan;
  3. Mereka sama-sama merasa menang.

Setelah hakim menguasai teori-teori yang telah dibahas diatas maka tugas hakim adalah sebagai berikut:

  1. Teknik konstatir artinya melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya suatut peristiwa yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Hakim harus pasti akan konstateringnya, sehingga ia harus pasti akan kebenarannya itu, tidak sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah tentang adanya peristiwa yang bersangkutan. Selanjutnya hakim harus melakukan pembuktian dengan alat-alat bukti dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukannya.
  2. Teknik kualifisir artinya menganalisis fakta-fakta untuk dipilih-pilih mana yang terbukti dan mana yang tidak terbukti, fakta yang terbukti kemudian dipilih-dipilih lagi mana yang merupakan fakta hukum dan yang merupakan bukan fakta hokum; fakta hukum itu kemudian dicari hubungan hukumnya; kualifisir bertujuan untuk menetapkan putusan yang tepat, dalam melakukan kualifisir ini, hakim berpegang teguh pada prinsip ”mempertajam analisis dan menemukan hukum yang tepat” untuk kasus yang bersangkutan.
  3. Teknik konstituiring yakni menerapkan hukum terhadap kasus yang telah terbukti tersebut sebagai hasil dari konstantiring dan kualifisir; dalam konstituiring ini hakim berpegang pada prinsip “menjatuhkan putusan yang bersifat tuntas dan final”.

Ketiga teori dan seni ini diterapkan dalam penyelesaian dan pengambilan putusan maka akan menciptakan putusan hakim yang paripurna, putusan hakim yang paripurna dapat dilihat dari berbagai aspek praktis.

Ada empat aspek tinjauan terhadap setiap putusan hakim, yaitu aspek legalitas, aspek idealitas, aspek etika dan estetika, serta aspek integritas. Aspek legalitas, idealitas, etika dan estetika melekat pada dan termuat di dalam surat putusan, sedang aspek integritas melekat pada pribadi sang hakim sebagai sumber ide dan penanggung jawab putusan.

Apabila empat aspek tersebut terpenuhi dengan sempurna maka itulah putusan yang paripurna.

  1. Aspek legalitas berkaitan dengan syarat yuridis putusan hakim yang sah, mengikat dan eksekutabel. Sah artinya putusan itu memenuhi syarat sah menurut hukum, tidak cacat hukum, tidak diancam dengan batal putusan demi hukum dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terhadap pihak dalam perkara. Eksekutabel artinya putusan itu secara hukum dapat dieksekusi.
  2. Aspek idealitas berkaitan dengan mutu putusan, yakni tertata dengan baik, runtut, sistematis tidak memuat term-term yang multitafsir, mengandung kejelasan, mengandung pertimbangan hukum yang normatif, argumentatif dan mengandung pembaharuan hukum, mengenai aspek ini.
  3. Aspek etika dan estetika berkaitan dengan keindahan dan kewibawaan putusan yang meliputi format putusan, penampilan putusan yang bersih dan rapi, etika dan bahasa dan tata bahasa, keindahan bahasa, dan tata penulisan putusan. Putusan hakim disamping memiliki nilai yuridis akademis, juga memiliki nilai seni dan kesusastraan.
  4. Aspek integritas berkaitan dengan etika, prilaku, moral dan akhlak hakim, baik dalam kedinasan dalam menangani perkara maupun dalam kehidupan sehari-hari, oleh sebab itu hakim wajib:
    1. Menjaga diri dari perilaku tercela yang dapat berakibat menghilangkan kewibawaan hakim dan lembaga peradilan.
    2. Menjaga diri dari perilaku yang dapat menimbulkan kesan memihak, kesan unprofessional dan kesan negative lainnya.
    3. Menjaga diri dari perilaku yang dapat menghilangkan kepercayaan publik dan pihak-pihak yang berperkara terhadap pribadi hakim maupun lembaga peradilan.
    4. Menjaga diri dari prilaku yang dapat menghilangkan keharuman nama baik pribadi hakim sebagai panutan di lingkungan kerja maupun di lingkungan masyarakat.
    5. Melakukan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Kesimpulan

Dalam penyelesaian dan pengambilan putusan perkara diperlukan teori, strategi dan seni yang tepat. Untuk itu seorang hakim harus menguasai ilmu hukum dengan segala cabang-cabangnya, ilmu humaniora dan ilmu manajemen. Ilmu hukum merupakan bahan baku dalam menyelesaikan perkara di pengadilan yang bekerja secara lugas dan konsisten sehingga menghasilkan kebenaran, kepastian hukum dan keadilan. Ilmu humaniora merupakan bumbunya untuk penyedap rasa yang dapat diselaraskan dan disesuaikan dengan karakteristik dan budaya para pihak yang berperkara, sehingga dapat dirasakan nikmatnya hukum secara manusiawi. Ilmu manajemen merupakan strategi pengolahan untuk memadukan ilmu hukum dan ilmu humaniora, serta merupakan teknis pengemasan hukum dan seni penyajiannya agar proses penyelesaian perkara dapat menjadi menarik, praktis, pragmatis serta efektif dan efisien sehingga dapat memuaskan semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Mukti Arto. SH., Drs., Dr. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2017
  2. Mukti Arto. SH., Drs., Dr. Teori dan Seni Menyelesaikan Perkara Perdata di Pengadilan, Jakarta: Kencana, 2017.
  3. Abu Ahmadi, Psikologi Sosial. Jakarta: Rineke Cipta, 1991.
  4. http:www/google.com/Mencari Sosok Hakim Yang Ideal, diambil tanggal 05 Oktober 2019 Pukul 09:30 WIB
  5. http:www/google.com/Hakim Ideal Menurut Kacamata Islam, diambil tanggal 11 Oktober 2019, Pukul 19:45